Laman

Jumat, 03 Oktober 2014

My Short Story



Judul           : “Buih di Muara September”
Penulis         : Aulia Fransischa
Tahun          : 25 September 2014

*Terinspirasi dari sebuah kisah hidup seseorang yang pada akhirnya aku pun tersentuh untuk mengadopsi menjadi sebuah cerita pendek.*

P
anggil saja namaku Lia, seorang mahasiswi jurusan bahasa asing di sebuah Universitas Negeri. Senin pagi itu, tepatnya bulan kesembilan di tahun yang melukiskan kisahku, aku tersentak seiring alarm yang biasa membangunkanku untuk segera bersiap memulai perjalanan hidup. Memori akan peristiwa dua hari yang lalu masih menghantui pikiranku. Tepat pukul 06.30 dengan cuaca yang cukup cerah mengawani langkahku untuk pergi ke kampus. Seperti biasa, aku menelusuri jalan yang di semuti kendaraan, keramaian yang selalu hidup bersamaku di kota ini. Entah kenapa, langit biru yang mengikuti ragaku tak mampu mengalihkan perasaan hati yang berkecamuk. Hanya berpikir takkan terjadi apa-apa, dengan wajah penuh semangat aku memulai pelajaran di kelas. Disela suasana kelas yang ramai, tiba-tiba jantungku berdetak dengan kencang seakan membunuh semangatku ketika itu. Untuk kedua kalinya, aku memikirkan ada gerangan apa yang akan terjadi? Seketika aku bangkit dari tempat duduk dan berjalan menjajaki kantin yang berada tepat di sebelah kelasku. Sebotol air mineral sedikit melenyapkan kerusuhan hati, kemudian aku kembali mengikuti kegiatan kelas. 

Selang beberapa menit kelas pun berakhir, aku berjalan seraya menatapi pintu seolah tak dapat menggapainya. Kegelisahan, ketakutan dan kekacauan merayapi sudut-sudut otak. Dari kejauhan, terngiang lantunan suara yang tak asing lagi, yah, suara seorang sahabat yang selalu ada untukku, Fizy. Namun, kaki ini tak mampu berhenti untuk membawaku ke tempat dimana ada ketenangan tanpa kebisingan. Tak kuhiraukan panggilan yang tadinya semakin lama meredup, hanya berkata dalam hati, “ma’af Fi, saat ini aku butuh waktu untuk sendiri.” Hingga aku tak menyadari dia mengikuti dan tiba-tiba menampar pundakku dengan lembut, spontan aku memeluk Fizy dan menangis.

“Kamu kenapa Lia?” ucap Fizy sambil memegang tanganku yang saat itu terasa tak berdaya.

Aku pun menatap dua bola mata yang berisi kekhawatiran, inginku berkata dan menceritakan apa yang terjadi. Tetapi, mulutku terkatup rapat, hingga butir demi butir genangan air masih mengalir dipipiku.

Sepuluh menit berlalu meninggalkan coretan tangisan yang tadinya sempat menghanyutkan suasana. Perlahan kuhela nafas dan menghirup udara pagi yang sebentar lagi akan menyambut hadirnya terik matahari.

Fizy kembali bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi, Lia?”

Dengan sedikit lambaian senyum aku berkata, “Hanya masalah kecil Fi, semua akan baik-baik saja.”

“Bagaimana kamu bisa mengatakan kalau kamu akan baik sahabatku” ujar Fizy dengan nada agak keras.

“Jika kamu masih menganggapku sebagai seorang sahabatmu, tolong ceritakan kenapa dan bagaimana kamu bisa menangis?” 

Dan ku awali cerita dengan menanyakan satu hal padanya, “apa kamu pernah melontarkan kata selamat tinggal pada seseorang, Fi?”

Kebingungan menyelimuti raut wajahnya, “maksud kamu apa, Lia? Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kamu katakan. ”

Ketika ingin kulontarkan jawaban, spontan Fizy memotong pembicaraan dan berkata, “Bagaimana dengan kekasihmu? Apa kalian baik-baik saja? Sudah lama aku tak mendengar kabar tentang hubungan kalian, sebab akhir-akhir ini kamu pun hampir tak pernah menyebut namanya lagi. Apa kalian......?”

“Benar Fi, aku dan dia telah mengambil jalan masing-masing. Itu kenapa tak pernah lagi ku sebut namanya.” Seraya menatap Fizy dengan senyuman.

Pembicaraan kami pun teralihkan karena seorang teman kelas memberitakan bahwa perkuliahan siang itu ditiadakan. Perasaan lega namun masih terpaku dengan masalah. Kemudian Fizy mengajakku pergi ke sebuah tempat dimana akan terasa lepas bagiku untuk mengadukan kesedihan. Memperhatikan setiap lorong jalan dari balik kaca bus kota seperti menatap kertas kosong, berusaha untuk melupakan tentang “Dia”, tapi kenangan saat bersamanya begitu melekat dan tak mampu kubuihkan. 

Tempat itu...yah, aku sangat mengenalnya. Sebuah tempat aku dan kekasihku pertama kali bertemu, toko “ice cream”. Kisah yang dulunya pernah ada, seakan kini terulang kembali meskipun hanya bayangan yang sangat inginku rangkul. Yah.. waktu begitu cepat berlalu, lima belas hari berlalu setelah hari jadi kita, aku dan kekasihku sepakat untuk berpisah.

Disinilah, ceritaku dan Fizy berlanjut sambil menikmati dinginnya ice cream yang persis sama dengan ice cream yang pernah “Dia” berikan. 

“jadi apa penyebab kalian seperti ini?” ujar sahabatku.

“aku dan dia bukan karena tak lagi memiliki rasa sayang dan cinta, tapi keputusan yang telah kita ambil semata-mata untuk kebaikan kita.”

“Iya Lia, bukankah selama ini kalian selalu terlihat baik? Apa dia menduakan kamu Li?” raut keheranan terlihat di paras Fizy.

Kembali kujawab dengan senyuman untuk meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, “tidak Fi, dia adalah lelaki baik yang pernah kutemui. Tiada manusia yang mampu menghindari takdirnya, seperti itulah aku juga tak mampu mengelaknya meskipun dulu kita pernah satu sekolah dan aku tak mengenalnya, tapi setelah beberapa tahun takdir mempertemukan kita kembali, tepatnya setelah kita sama-sama menjajaki bangku kuliah. Ketika itulah aku mulai dekat dan memahaminya lebih jauh lagi. Sampai akhirnya hati ini telah kutanamkan didasar hatinya. Janji yang pernah kita ucapkan untuk saling menjaga dan setia hingga sekarang masih terus kuingat, Fi.”

“Dan apa yang membuat kamu sesedih ini jika keputusan untuh berpisah adalah keputusan kalian berdua dan juga untuk kebaikan kalian?” (masih menikmati ice cream setengah meleleh).

“Bukan untuk hal lain, melainkan agar kita bisa fokus menempuh pendidikan dan meraih kesuksesan demi masa depan. Yaa.. yaa.. memang tak bisa kuhindari, reruntuhan pilu karena tak bersamanya lagi semakin hari semakin mengoyak jiwaku. Meskipun begitu, satu hal yang tak akan pernah kulupakan tentang ikrar kita untuk selalu bersama dan jika Tuhan mengizinkan kembali untuk kita bersatu, perasaan ini akan selalu kutanamkan untuk setia menunggunya. Mencoba tetap tegar menjalani beberapa waktu tanpanya, Fi.”

“Sungguh kisah cinta terhebat yang pernah kudengar Lia, kalian mampu mempertaruhkan hati demi masa depan dan orang-orang yang kalian cintai. Sekarang, lalui hari-harimu dengan penuh semangat, pikirkan dia juga akan setia menanti hari bahagia itu esok bersama kamu. Satu hal, jangan pernah berpikir semua akan sia-sia dan tidak bermakna walau saat ini hari-hari yang kamu lalui tanpa kehadirannya, Lia.”

“Benar Fi, setidaknya aku tau dia juga mencintaiku dan berharap selamanya.”

Dan semakin redupnya sinar matahari mengakhiri ceritaku bersama sang sahabat, hati yang tadinya begitu layu kini mulai mekar kembali, berharap seiring berjalannya waktu aku bisa bangkit dari keterpurukan jiwa. 

*Begitulah kisah ini ku torehkan dalam karyaku, agar orang-orang tau untuk meraih sesuatu yang terbaik dalam kehidupan mesti ada perjuangan dan pengorbanan, walau terkadang harus melalui pahitnya lika-liku hidup, namun pada ujungnya akan berbuah manis.*

Terima Kasih
      ^_^

1 komentar:

  1. yakin dan optimis...
    kelak esok niat baik bkal berbuah manis...
    :)

    BalasHapus