Judul : “Buih di Muara September”
Penulis :
Aulia Fransischa
Tahun : 25
September 2014
*Terinspirasi dari sebuah kisah hidup seseorang yang pada
akhirnya aku pun tersentuh untuk mengadopsi menjadi sebuah cerita pendek.*
P
|
anggil saja namaku Lia, seorang mahasiswi jurusan bahasa
asing di sebuah Universitas Negeri. Senin pagi itu, tepatnya bulan kesembilan
di tahun yang melukiskan kisahku, aku tersentak seiring alarm yang biasa
membangunkanku untuk segera bersiap memulai perjalanan hidup. Memori akan peristiwa
dua hari yang lalu masih menghantui pikiranku. Tepat pukul 06.30 dengan cuaca
yang cukup cerah mengawani langkahku untuk pergi ke kampus. Seperti biasa, aku
menelusuri jalan yang di semuti kendaraan, keramaian yang selalu hidup
bersamaku di kota ini. Entah kenapa, langit biru yang mengikuti ragaku tak
mampu mengalihkan perasaan hati yang berkecamuk. Hanya berpikir takkan terjadi apa-apa,
dengan wajah penuh semangat aku memulai pelajaran di kelas. Disela suasana
kelas yang ramai, tiba-tiba jantungku berdetak dengan kencang seakan membunuh
semangatku ketika itu. Untuk kedua kalinya, aku memikirkan ada gerangan apa
yang akan terjadi? Seketika aku bangkit dari tempat duduk dan berjalan
menjajaki kantin yang berada tepat di sebelah kelasku. Sebotol air mineral sedikit
melenyapkan kerusuhan hati, kemudian aku kembali mengikuti kegiatan kelas.
Selang beberapa menit kelas pun berakhir, aku berjalan seraya
menatapi pintu seolah tak dapat menggapainya. Kegelisahan, ketakutan dan kekacauan
merayapi sudut-sudut otak. Dari kejauhan, terngiang lantunan suara yang tak
asing lagi, yah, suara seorang sahabat yang selalu ada untukku, Fizy. Namun,
kaki ini tak mampu berhenti untuk membawaku ke tempat dimana ada ketenangan
tanpa kebisingan. Tak kuhiraukan panggilan yang tadinya semakin lama meredup,
hanya berkata dalam hati, “ma’af Fi, saat ini aku butuh waktu untuk sendiri.” Hingga
aku tak menyadari dia mengikuti dan tiba-tiba menampar pundakku dengan lembut,
spontan aku memeluk Fizy dan menangis.
“Kamu kenapa Lia?” ucap Fizy sambil memegang tanganku
yang saat itu terasa tak berdaya.
Aku pun menatap dua bola mata yang berisi kekhawatiran,
inginku berkata dan menceritakan apa yang terjadi. Tetapi, mulutku terkatup
rapat, hingga butir demi butir genangan air masih mengalir dipipiku.
Sepuluh menit berlalu meninggalkan coretan tangisan yang
tadinya sempat menghanyutkan suasana. Perlahan kuhela nafas dan menghirup udara
pagi yang sebentar lagi akan menyambut hadirnya terik matahari.
Fizy kembali bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi, Lia?”
Dengan sedikit lambaian senyum aku berkata, “Hanya
masalah kecil Fi, semua akan baik-baik saja.”
“Bagaimana kamu bisa mengatakan kalau kamu akan baik
sahabatku” ujar Fizy dengan nada agak keras.
“Jika kamu masih menganggapku sebagai seorang sahabatmu,
tolong ceritakan kenapa dan bagaimana kamu bisa menangis?”
Dan ku awali cerita dengan menanyakan satu hal padanya,
“apa kamu pernah melontarkan kata selamat tinggal pada seseorang, Fi?”
Kebingungan menyelimuti raut wajahnya, “maksud kamu apa,
Lia? Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kamu katakan. ”
Ketika ingin kulontarkan jawaban, spontan Fizy memotong
pembicaraan dan berkata, “Bagaimana dengan kekasihmu? Apa kalian baik-baik
saja? Sudah lama aku tak mendengar kabar tentang hubungan kalian, sebab akhir-akhir
ini kamu pun hampir tak pernah menyebut namanya lagi. Apa kalian......?”
“Benar Fi, aku dan dia telah mengambil jalan
masing-masing. Itu kenapa tak pernah lagi ku sebut namanya.” Seraya menatap
Fizy dengan senyuman.
Pembicaraan kami pun teralihkan karena seorang teman
kelas memberitakan bahwa perkuliahan siang itu ditiadakan. Perasaan lega namun
masih terpaku dengan masalah. Kemudian Fizy mengajakku pergi ke sebuah tempat
dimana akan terasa lepas bagiku untuk mengadukan kesedihan. Memperhatikan setiap
lorong jalan dari balik kaca bus kota seperti menatap kertas kosong, berusaha
untuk melupakan tentang “Dia”, tapi kenangan saat bersamanya begitu melekat dan
tak mampu kubuihkan.
Tempat itu...yah, aku sangat mengenalnya. Sebuah tempat
aku dan kekasihku pertama kali bertemu, toko “ice cream”. Kisah yang dulunya
pernah ada, seakan kini terulang kembali meskipun hanya bayangan yang sangat
inginku rangkul. Yah.. waktu begitu cepat berlalu, lima belas hari berlalu
setelah hari jadi kita, aku dan kekasihku sepakat untuk berpisah.
Disinilah, ceritaku dan Fizy berlanjut sambil menikmati
dinginnya ice cream yang persis sama dengan ice cream yang pernah “Dia”
berikan.
“jadi apa penyebab kalian seperti ini?” ujar sahabatku.
“aku dan dia bukan karena tak lagi memiliki rasa sayang
dan cinta, tapi keputusan yang telah kita ambil semata-mata untuk kebaikan
kita.”
“Iya Lia, bukankah selama ini kalian selalu terlihat
baik? Apa dia menduakan kamu Li?” raut keheranan terlihat di paras Fizy.
Kembali kujawab dengan senyuman untuk meyakinkannya bahwa
aku baik-baik saja, “tidak Fi, dia adalah lelaki baik yang pernah kutemui.
Tiada manusia yang mampu menghindari takdirnya, seperti itulah aku juga tak
mampu mengelaknya meskipun dulu kita pernah satu sekolah dan aku tak mengenalnya,
tapi setelah beberapa tahun takdir mempertemukan kita kembali, tepatnya setelah
kita sama-sama menjajaki bangku kuliah. Ketika itulah aku mulai dekat dan
memahaminya lebih jauh lagi. Sampai akhirnya hati ini telah kutanamkan didasar
hatinya. Janji yang pernah kita ucapkan untuk saling menjaga dan setia hingga
sekarang masih terus kuingat, Fi.”
“Dan apa yang membuat kamu sesedih ini jika keputusan
untuh berpisah adalah keputusan kalian berdua dan juga untuk kebaikan kalian?”
(masih menikmati ice cream setengah meleleh).
“Bukan untuk hal lain, melainkan agar kita bisa fokus
menempuh pendidikan dan meraih kesuksesan demi masa depan. Yaa.. yaa.. memang
tak bisa kuhindari, reruntuhan pilu karena tak bersamanya lagi semakin hari
semakin mengoyak jiwaku. Meskipun begitu, satu hal yang tak akan pernah
kulupakan tentang ikrar kita untuk selalu bersama dan jika Tuhan mengizinkan
kembali untuk kita bersatu, perasaan ini akan selalu kutanamkan untuk setia
menunggunya. Mencoba tetap tegar menjalani beberapa waktu tanpanya, Fi.”
“Sungguh kisah cinta terhebat yang pernah kudengar Lia,
kalian mampu mempertaruhkan hati demi masa depan dan orang-orang yang kalian
cintai. Sekarang, lalui hari-harimu dengan penuh semangat, pikirkan dia juga
akan setia menanti hari bahagia itu esok bersama kamu. Satu hal, jangan pernah
berpikir semua akan sia-sia dan tidak bermakna walau saat ini hari-hari yang
kamu lalui tanpa kehadirannya, Lia.”
“Benar Fi, setidaknya aku tau dia juga mencintaiku dan
berharap selamanya.”
Dan semakin redupnya sinar matahari mengakhiri ceritaku
bersama sang sahabat, hati yang tadinya begitu layu kini mulai mekar kembali,
berharap seiring berjalannya waktu aku bisa bangkit dari keterpurukan jiwa.
*Begitulah kisah ini ku torehkan dalam karyaku, agar
orang-orang tau untuk meraih sesuatu yang terbaik dalam kehidupan mesti ada
perjuangan dan pengorbanan, walau terkadang harus melalui pahitnya lika-liku
hidup, namun pada ujungnya akan berbuah manis.*
Terima Kasih
^_^
yakin dan optimis...
BalasHapuskelak esok niat baik bkal berbuah manis...
:)